Terima kasih sudah berkenan Bantu Share
Banyak orang bilang sekarang ini sudah era teknologi informasi dan internet yang canggih. Boleh saja sih anda berpendapat seperti itu karena faktanya kemajuan di bidang teknologi informasi dan internet berkembang begitu sangat pesat.
Namun percaya atau tidak, menurut saya dan pengalaman yang saya lihat, ternyata masih banyak birokrasi di negara kita mulai dari perkotaan hingga pedesaan yang birokrasi mereka masih “BUTA” internet.
Sebelum terjadi perbedaan pendapat terkait apa itu “Buta” internet, disini saya tegaskan bahwa maksud dari buta internet birokrasi yang saya maksud adalah masih rendah dan minimnya birokrasi di negara kita yang memanfaatkan teknologi informasi dan juga internet.
Kondisi tersebut ternyata terjadi tidak hanya ada di pedesaan saja tapi justru berada di perkotaan juga masih banyak birokrasi yang belum memanfaatkan dan memaksimalkan teknologi informasi dan internet.
Di perkotaan contohnya yang sangat sepele dan sederhana saya punya cerita, saat menjadi salah satu narasumber untuk sebuah workshop dengan materi bidang TI di salah satu sekolah ternama, Sudah menjadi kebiasaan saya biasanya materinya saya kirimkan melalui email beberapa hari sebelum pelaksanaan hari “H”nya.
Setelah kurang lebih 3 hari mendekati hari pelaksanaan saya kirimkan materi saya melalui email yang sesuai ada di undangan. Tapi anehnya, ketika kurang sehari waktu pelaksanaan acara saya di telpon dari pihak sekolah tersebut yang menanyakan materinya sudah dikirimkan atau belum.
Saya kemudian menjawab dengan mengatakan sudah saya kirimkan beberapa hari yang lalu melalui email yang tercantum pada cop surat undangan. Kemudian dari pihak sekolah tersebut bilang jika kirim email jangan lewat email yang di cop surat, itu email jarang dibuka sama adminya, kirim email ke saya saja langsung.
Mendengar balasan itu akhirnya saya dijelaskan panjang kali lebar soal bagaimana pengelolaan web di sekolahnya hingga admin yang mengurusi soal email tersebut ternyata sebenernya agak gaptek tapi karena dianggap guru senior maka dipercaya suruh jadi admin.
Dari kisah itu saya tidak sekali dua kali mengalaminya sehingga jadi berfikir jika jangan-jangan yang demikian itu terjadi tidak hanya ada di birokrasi sekolah saja tapi juga pada birokrasi yang lain juga.
Soalnya saya juga memiliki pengalaman yang lain misalnya untuk mengurus membuat sebuah perizinan lembaga sosial (Yayasan), proses perizinanya juga sangat ribet. Karena keribetanya tersebut maka hampir semua orang yang ingin membuat Yayasan atau lembaga dari mulai proses perizinan dan lain-lain lebih melalui Notaris.
Saya pikir masih sangat mudah menemukan birokrasi yang amburadul yang sebenernya hal itu tidak perlu terjadi ketika birokrasi tersebut memaksimalkan pemanfaatan Teknologi Informasi dan internet dalam birokrasinya.
Hal yang saya sebutkan itu masih ada di perkotaan, bagaimana dengan yang ada di birokrasi tingkat Desa?
Jika saya bertanya, di Indonesia ini ada berapa desa yang sudah memiliki Blog, website atau akun facebook dan akun jejaring social lainya?
Oke, jangan di seluruh Indonesia deh, di pulau jawa, ada berapa desa yang sudah memiliki blog,web atau akun jejaring social?
Saya pikir masih sangat sedikit bukan?
Kalaupun ada website desa, rata-rata terkadang justru yang membuat blog atau website tersebut ternyata bukan dari resmi pejabat desanya melainkan dari warga desa yang peduli yang kemudian membuatkan blog atau website desanya.
Saya sendiri termasuk warga yang membelikan domain dan hosting untuk desa saya karena memang untuk perangkat desa saya masih belum tau soal blog dan website itu untuk apa fungsinya?.
Melihat kondisi tersebut, Itu kenapa saya sangat memberi apresiasi atas apa yang dilakukan oleh beberapa teman saya yang saat ini sedang terus berjuang membuat Gerakan bernama “Gerakan Desa Membangun”.
Salah satu gerakan tersebut salah satunya mengkampanyekan pemanfaatan TI dan internet di setiap desa mereka. Perjuangan mereka sepertinya satu persatu mulai terwujud dengan di resmikanya sebuah domain Desa.ID serta membuat gerakan 1000 web desa gratis.
Tidak hanya itu saja, mereka juga aktif dalam memperjuangkan disahkanya UU tentang Desa yang hingga detik ini mereka terus perjuangkan. Melalui tulisan ini saya memberikan angkat topi dan salam hormat untuk mereka.
Apa yang dilakukan oleh para pegiat Gerakan Desa Membangun itu menggambarkan bahwa pada fakta dan kenyataanya walau teknologi Informasi dan Internet sudah begitu berkembang pesat dan canggih, ternyata hal tersebut tidak diikuti oleh SDM dan mental dari orang-orang yang ada di birokrasi.
Saya membayangkan jika KomInfo dan pihak terkait jika mereka bekerja dengan maksimal dengan memanfaatkan teknologi informasi dan internet, maka ada banyak kemudahan dan penghematan yang luar biasa di negara kita.
Saya contohkan begini, seandainya dengan anggaran yang tidak terlalu banyak, KomInfo misalnya membuatkan seluruh website resmi di setiap desa kemudian memberikan pelatihan ttg bagaimana cara mengelolanya, maka bisa dibayangkan betapa mudah untuk mendapatkan data-data yang terkait dengan desa.
Dengan cara itu, maka akan sangat mudah misalnya pemerintah ingin mendapatkan data total jumlah penduduk, jumlah penduduk melahirkan, jumlah penduduk meninggal, jumlah penduduk yang pindah, jumlah penduduk pendatang, dan data lain-lainya yang semua itu bisa didapat dengan mudah ketika memanfaatkan teknologi informasi dan internet.
Termasuk data warga yang berhak memilih bisa didapat dengan cara ini karena jika di data dengan uptodate, maka tidaka akn terjadi kesalahan seperti sekarang ini.
Selain itu masih banyak lagi manfaatnya jika pihak terkait bersama jajaran birokrasinya benar-benar bisa memanfaatkan teknologi informasi dan internet.
Jangan sampai teknologi informasi dan internet setiap menit dan setiap detik terus berkembang dan semakin maju, akan tetapi SDM kita akan selalu “BUTA” dalam hal implementasi dan pemanfaatanya.
ilustrasi gambar | specialeyes.co.nz