Terima kasih sudah berkenan Bantu Share
Sebut saja namanya Mr Tr, dia bekerja di sebuah perpustakaan SD di daerah terpencil. Dia hanya lulusan SLTA dan sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi D3/S-1 Ilmu perpustakaan. Beberapa saat yang laluperpustakaan SD tempat dia bekerja, mendapatkan penghargaan hingga tingkat Nasional. Salah satu faktor penilaian dewan juri adalah karena sistem pengelolaan perpustakaan tersebut sudah menggunakan sistem pengelolaan perpustakaan digital. Alasan lain adalah adanya dukungan dari Kepala sekolah tersebut yang memiliki manajemen dan birokrasi yang sangat baik di sekolah tersebut, dan tentunya beberapa faktor yang lain.
Saat saya berkunjung ke perpustakaan ini, tampilan Opacnya sudah online dan desaignya juga sangat menarik sesuai dengan tampilan anak-anak. Dan perlu diketahui bahwa perpustakaan SD tersebut ternyata hanya menggunakan software gratis dan cara mengonlinekan katalog perpustakaan tersebut juga dengan cara gratis.
Namun ada kisah lain ketika saya berkunjung ke salah satu Perpustakaan Daerah di salah satu Kabupaten di Jawa Tengah. Kesan pertama ketika datang disana adalah tempat parkir yang sangat sempit sehingga sangat tidak nyaman. Ketika masuk ke ruang utama, saya disuruh menulis daftar tamu dengan menggunakan buku tamu seperti jaman dulu (kalau di perpustakaan SD diatas semuanya tinggal pakai komputer) . Ketika saya bertanya dimana saya bisa melihat daftar katalog perpustakaan saya disuruh mencari sendiri di sebuah lemari dengan bilik yang kecil-kecil yang disebut dengan tempat menyimpan katalog kartu. Ketika saya lihat katalog yang terbuat dari kertas tersebut terlihat sudah sangat usam bahkan ada yang terlihat sobek karena terlihat rapuh. Kemudian saya ingin mencoba wawancara dengan kepala perpustakaan tersebut tapi kata penjaga disana bilang kalau kepala perpustakaanya sedang keluar dan akhirnya saya diperkenankan bertemu dengan bagian tata usaha. Dan saat saya bertanya terkait yang saya sebut diatas ternyata yang saya dengar hanya keluhan khas birokrasi yang menyatakan tidak ada anggaran lah, tidak ada bantuanlah, tidak ada ahlinyalah, harus mempertimbangkan ini-itulah dan alasan-alasan lain.
Dari dua kisah dan pengalaman tersebut diatas kita bisa melihat betapa sebenarnya membangun perpustakaan digital itu sebenarnya sangatlah mudah, Darimana saya katakan mudah ? Dari kisah Mr Tr diatas kita bisa melihat bahwa hanya dengan software gratispun dia bisa membangun perpustakaan digital dan meng online kanya, bahkan perpustakaan tersebut mendapat penghargaan hingga tingkat nasional, padahal Mr Tr juga bukan seorang lulusan mahasiswa ilmu perpustakaan apalagi seorang ahli atau dosen dibidang perpustakaan. Tapi karena kerja keras dan kesediaan dia untuk mau belajar dan pihak birokrasi dalam hal ini kepala sekolah memberi dukungan yang sangat luar biasa maka jadilah perpustakaan SD yang dia kelola seperti sekarang ini. Banyak siswa menjadi rajin berkunjung ke perpustakaan, Prestasi siswa meningkat, bahkan nama sekolah juga ikut terangkat statusnya berawal dari peran pengelolaan perpustakaan yang baik.
Membangun perpustakaan terlihat sulit dan mahal adalah ketika kita melihat kisah yang kedua. Bayangkan, sebuah perpustakaan di tingkat Perpustakaan Daerah yang saya sangat yakin pasti memiliki dana dan anggaran dari pemerintah (merujuk UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan) untuk mengelola perpustakaan berbasis TIK, tapi faktanya hingga detik ini pengelolaan di perpustakaan daerah tersebut masih menggunakan manual.
Mungkin tidak semuanya memang permasalahan ada pada birokrasi, tapi secara fakta dan data dilapangan birokrasi di negeri ini masih menjadi masalah besar, termasuk dalam dunia perpustakaan.